Sebenarnya mata masih mengantuk berat. Tapi apa boleh buat perjalanan kali ini harus di mulai dini hari agar tiba di tujuan masih ada sinar matahari. Menyemangati diri dengan segera mandi dan sarapan, meskipun perut ini belum siap untuk menerima makanan di saat pagi buta seperti ini. Duduk di teras depan rumah menunggu mobil jemputan, sambil sesekali melihat ransel pakaian, coba mengingat apakah ada barang yang ketinggalan.
Tak lama berselang mobil fortuner hitam jemputan singgah di pinggir jalan depan rumahku, akupun beranjak berpamitan dengan Ibuku yang setia menunggu untuk menutup pintu. “Selamat pagi“ itu sapaan kompak dua orang teman saat aku membuka pintu mobil.
Perjalanan memulai program Penerjemahan Alkitab bahasa Kuhin kali ini membawa kami ke Desa Langkai, Kecamatan Suling Tambun, Kabupaten Seruyan. Desa yang letaknya hampir diujung barat Kabupaten Seruyan yang hampir berbatasan dengan Propinsi Kalimantan Barat.
Tempat yang bagi kami masih teka-teki, berangkat hanya bermodalkan petunjuk Pendeta yang melayani disana, juga pengalaman supir yang konon katanya pernah mengantar penumpang ke desa ini. Tidak banyak pemandangan yang bisa terlihat di pagi buta seperti ini. Apalagi kaca mobil yang gelap tidak membuatku berharap melihat sesuatu yang menarik di luar sana.
Ketika matahari mulai menyapa, kami sudah tiba di Kota Sampit. Kota pelabuhan yang mulai bergeliat dengan aktifitas orang-orang di jalanan yang kami lalui. Ketika melewati pinggiran kota, mataku sempat membaca sebuah papan bertuliskan “Makam Korban Tragedi 18 Februari 2001“ Ini yang membawa ingatanku pada rentetan peristiwa kelam kerusuhan etnis bertahun-tahun yang silam.
“Mau ke toilet?“ pertanyaan temanku membuat ingatanku terhenti, ’’di SPBU selanjutnya ya“ jawabku singkat. SPBU merupakan tempat yang wajib disinggahi jika ingin buang air dalam perjalanan seperti ini. Entah ini benar atau tidak, konon ceritanya banyak ular kobra yang sengaja dilepaskan untuk hama tikus di perkebunan milik perusahaan sawit. Ini membuatku ngeri jika harus berhenti di pinggiran kebun sawit yang yang berjejer sepanjang jalan.
Setelah tiga jam meninggalkan kota Sampit kami berhenti makan siang di satu rumah makan yang sering disinggahi mobil-mobil perusahaan maupun mobil angkutan biasa seperti kami. Goreng ikan patin dan sambal lalapan yang menggugah selera menambah semangat untuk melanjutkan perjalanan yang rasanya masih panjang ini.
Keceriaan masih menyala selepas perjalanan makan siang, namun perlahan-lahan sirna karena hari mulai terbenam namun kami masih menyusuri hutan kayu milik perusahaan kayu di daerah ini. Seharusnya kami sudah tiba. Sialnya, sinyal telpon rupanya tidak menjangkau daerah ini. Tak ada tempat bertanya karena hanya ada blok-blok hutan kayu yang besar di kiri kanan jalan tanah liat yang hanya kurang lebih tiga meter lebarnya.
Seringkali mobil harus memainkan setir “zig-zag“ ke kiri dan ke kanan untuk tanjakan yang berlumpur supaya tidak jalan mundur. Apalagi ketika hari sedang hujan. Tidak banyak kata dari kami dalam kebingungan ini. Bahan bakar menipis dan kami sepakat mematikan AC untuk menghemat bahan bakar yang tersisa. Supir pun tak bisa mengingat banyak dengan jalan yang seharusnya dilalui. Akhirnya, kami putuskan kembali ke camp perusahaan kayu terakhir yang sudah kami lewati.
Dalam kecemasan yang cukup tinggi, aku mengajak temanku berdoa agar Tuhan, Gembala baik itu menuntun kami keluar dari situasi ini. Ditengah malam kami tiba di camp perusahaan yang kami cari, setidaknya kami bisa mengisi bahan bakar di sini sekaligus bermalam. Biarlah perjalanan ini dilanjutkan esok hari.
Ketika bahan bakar mobil diisi, tiba-tiba supir kami mendatangiku dan berkata, “Bu, itu ada mobil Avanza yang membawa penumpang ke Desa Langkai, kita lanjut saja atau bagaimana?“ aku merasa seperti mendapat kekuatan baru.
Jawaban doa itu langsung terjadi. Mobil Avanza berpenumpang itu biasanya tidak biasa jalan malam hari. Entah kenapa mereka terlambat berangkat dari Kota Sampit dan harus tiba tengah malam di tempat ini. Aku percaya inilah mobil yang dikirim Gembala baik itu untuk menuntun kami malam ini.
Singkat cerita, kami tiba di Desa Langkai. Desa itu sepi dan gelap sekali. Tak ada listrik rupanya desa ini. Aku tidak tahu di mana Pendeta yang sudah menunggu kami. Sinyal telepon tidak ada sama sekali.
Temanku sudah mengusulkan kami tidur di teras gereja kayu tanpa pastori itu. Sebelum menyetujuinya mataku tertuju pada satu rumah besar yang terang sekali.
Aku memberanikan diri untuk mengetuknya. Seorang laki-laki yang masih aku anggap muda membuka pintu. Kami lalu menyampaikan maksud kedatangan kami ke desa itu. Ternyata laki-laki itu adalah Camat untuk Kecamatan Suling Tambun. Dia berkata, “Sudah tengah malam, tidak ada penginapan di desa ini. Ada kamar seadanya di belakang, kalian bisa tidur di sini malam ini.“
Betapa leganya malam ini. Kamar yang kami tempati malam ini ternyata tidak cocok dikatakan “seadanya.” Ada satu ranjang besar dan kasurnya. Cukup nyaman untuk melepaskan penat perjalanan yang dirasakan. Ada air bersih yang didapatkan dari pompa air listrik. Listrik menyala cukup lama karena ada mesin pembangkit listrik sendiri di rumah dinas Camat ini.
Pagi hari, kami tidak diperbolehkan pergi sebelum menikmati sarapan pagi. Ternyata pagi-pagi sudah ada tukang masak yang khusus yang datang setiap hari. Ketika menikmati sarapan, Pendeta yang menunggu kami tiba-tiba datang menjemput kami untuk berangkat ke lokasi pertemuan dengan jemaat dan pimpinan gereja setempat yang sebenarnya menunggu kedatangan kami dari malam tadi. Pertemuan dengan pimpinan gereja dan jemaatnya berjalan sukses dan lancar sekali.
Perjalanan 18 jam ke Desa Langkai memberikan satu pengalaman baru lagi, Gembala baik itu selalu menemani kemanapun kami pergi. Desa Langkai, kami akan sering mengunjungimu lagi hingga Alkitab dalam bahasa Kuhin selesai diterjemahkan suatu hari nanti./ronna karasih